Setiap
wanita yang shalihah pasti mendambakan pasangan hidup dari laki laki
yang shalih, sehingga ia dapat memimpinnya serta menuntunnya menuju
surga Allah. Sebab, suami adalah imam bagi rumah tangga, jika ia baik
niscaya kondisi rumah tangga akan menjadi baik, namun jika ia fasik maka
akan terjadi ketimpangan agama dan akhlak pada keluarga tersebut, bisa
jadi kesyirikan menjadi keyakinan dan maksiat menjadi kebiasaan. Untuk
itu, tentunya wanita yang shalihah tidak layak mendapat pemimpin yang
seperti ini. Allah Ta’ala dalam Al Quran telah memerintahkan kita untuk
memilih pasangan hidup sesuai keadaan agama kita, baik itu pria maupun
wanita, sebagaimana Firman-Nya,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ
مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). [an-Nur : 26]
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- juga memerintahkan kepada mereka yang ingin mencari pasangan
hidup hendaknya ia memilihnya karena Agama. Sebagaimana sabda beliau
dalam sebuah hadits,
عن أبي هريرة ، رضي الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : تنكح
المرأة لأربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك .
رواه البخاري و مسلم
Dari Abu Hurairah –Semoga Allah meridhainya- dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda,
“
Seorang wanita dinikahi karena empat perkara ; karena hartanya,
kedudukannya, dan kecantikannya atau karena agamanya, maka pilihlah
(nikahilah) wanita karena Agamanya, jika tidak engkau akan binasa. [Riwayat Bukhari, No.5090 dan Muslim, No.3708]
Demikian juga Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
memerintahkan kepada wali perempuan untuk menikahkan putrinya kepada
orang yang baik agamanya.
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ
إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
Jika datang kepada kalian seorang (pelamar) yang kalian ridhai
agamanya serta akhlaknya maka nikahkanlah ia(dengan putri kalian) jika
tidak kalian lakukan maka akan terjadi Fitnah(cobaan) di muka bumi dan
kerusakan yang luas. [Riwayat at-Tirmidzi, menurut Syekh al-Albani rahimahullah hadits ini hasan lighairihi ]
Namun bagaimana jika semua usaha telah dilakukan untuk mendapat
pasangan hidup yang baik, akan tetapi ternyata sang suami berubah di
kemudian hari, ia menjadi ahli maksiat – Naudzubillhi min dzalik- ,
karena tidak menutup kemungkinan hal yang demikian bisa terjadi,
sebagaimana keyakinan ahli sunnah wal jamah bahwa iman seseorang akan
naik dan turun sesuai amalannya. Atau bisa jadi dahulu kala ketika
berjodoh keduanya sama sama dari kalangan pelaku maksiat, tetapi di
tengah perjalanan, ternyata sang istri lebih dahulu mendapat hidayah ke
jalan yang lurus.. bagaimana solusinya? Apa yang hendak dilakukan wanita
tersebut agar sesuai dengan syariat Islam? Apakah minta cerai? Atau
bagaimana? Mari kita simak ulasan berikut ini.
Jenis kemaksiatan yang dilakukan suami
Sebelum mengambil tindakan terhadap suami hendaknya kita tinjau
dahulu jenis perbuatan dosa yang gemar dilakukan suami. Karena dosa ada
beberapa jenis yaitu:
1. Dosa kecil: semua dosa yang belum sampai pada derajat dosa besar.
2. Dosa besar: Perbuatan dosa yang diancam pelakunya dalam Al Quran
maupun hadits dengan api neraka, laknat , kemurkaan Allah atau
siksa-Nya.
3. Dosa kesyirikan atau kekufuran: Dosa semacam ini pelakunya akan kekal di neraka jika belum taubat sebelum mati.
Sikap istri terhadap perbuatan suami
Jika suami melakukan dosa kecil atau malas dalam melakukan kebaikan
maka hendaknya ia bersabar dengan menasihatinya sesuai kemampuan, dan
selalu berdoa kepada Allah Ta’ala agar memberinya hidayah. Dan tidak
boleh baginya untuk mengadukan masalah ini kepada orang lain, karena ini
merupakan rahasia yang suami.
Akan tetapi jika maksiat yang ia gemari adalah dosa besar maka hendaknya ia mengambil langkah-langkah berikut ini:
1. Menasihatinya dengan cara yang bijak. Sementara itu ia selalu
berdoa agar suaminya dapat kembali ke jalan yang lurus. Dan cara ini
hendaknya ditempuh dengan sabar(tidak terburu-buru), karena bagaimana
pun rahasia keluarga hendaknya tidak bocor kepada pihak ketiga. Kecuali
jika perbuatan dosa ini merupakan perbuatan fakhisyah (perbuatan keji
yang menjijikkan). Seperti zina, mendatangi istri lewat duburnya, dan
semacamnya. Maka ia mengambil langkah kedua.
2. Langkah kedua, Jika dengan cara pertama tidak mempan, atau bahkan
terjadi keributan, atau perbuatan suami adalah dosa yang sangat keji,
maka ia meminta bantuan pihak ketiga, yaitu orang tua suami atau
saudaranya yang ia segani. Diharapkan dengan ini akan berubah dengan
nasihat dari keluarga dan kerabat sendiri tanpa melibatkan orang jauh.
Namun jika ia tidak mendapatkannya pada keluarga, maka si istri boleh
melibatkan orang lain yang dihormati suami dalam urusan agama.
3. Apabila suami tetap tidak berubah maka jalan yang terakhir adalah
meminta cerai (khulu’); yakni apabila dosa besar yang dilakukannya
adalah dosa yang sangat berpengaruh pada agama istri. Namun jika dosa
itu hanya kembali pengaruhnya kepada suami saja maka hendaknya istri
bersabar dan terus berusaha semampunya untuk menasihati, walaupun boleh
baginya meminta cerai. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
عَنْ ثَوْبَانَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ
مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ ».
Dari Tsauban semoga Allah meridhainya berkata, “Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,’Wanita mana saja yang meminta
cerai kepada suaminya tanpa alasan syar’i maka haram baginya bau
surga.’” [Riwayat Abu Dawud no. 2228, at-Tirmidzi No. 1187. Hadis ini
dishahihkan oleh al-Albani dalam ta’liq-nya]
4. Apabila dosa tersebut merupakan perbuatan syirik akbar atau
kekufuran dan suami tidak mau tobat dari perbuatan tersebut dan telah
iqamatul hujah, maka wajib bagi istri bercerai dengan suami. Hal ini
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ
مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا
هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا
أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَاتُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ
اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka,
mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana [al-Mumtahanah: 10 ]
Kesimpulan yang dapat kita petik adalah:
1. Suami adalah pemimpin keluarga maka hendaknya ia mengemban amanah
ini dengan baik, karena ia akan ditanya tentang kepemimpinannya di hari
kiamat. Dalam sebuah hadis disebutkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Dari Ibnu Umar – semoga Allah meridhainya – berkata, “Aku mendengar
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Setiap kalian
pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia pimpin,
dan imam (umaro’) adalah pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab
tentang rakyatnya, dan seorang laki laki adalah pemimpin bagi
keluarganya dan ia akan dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia
pimpin, dan seoarang perempuan di rumah suaminya adalah pemimpin dan ia
akan dimintai tanggung jawab tentang apa yang ia pimpin…’” [Riwayat
Bukhari No. 2751. Muslim No. 4828]
2. Istri yang shalihah adalah istri yang dapat menyimpan rahasia
suaminya. Kecuali jika keadaan memaksanya untuk menceritakan kepada
orang lain. Hal ini seperti yang dilakukan oleh shahabiyah Hindun yang
mengadukan kebakhilan suaminya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.
3. Seorang istri hendaknya banyak berintrospeksi diri tentang kondisi
agamanya seta ketaatannya kepada suami, sehingga kenapa suami dapat
berbuat demikian, karena bisa jadi kesalahan yang sama terjadi pada
istri, maka akan sangat sulit perubahan dalam rumah tangga menuju ke
arah positif.
4. Permintaan cerai adalah jalan terakhir yang ditempuh seorang istri
dalam menghadapi suami yang tidak dapat dijadikan imam oleh sebab
kedurhakaannya kepada Allah Ta’ala.
Semoga ulasan sederhana ini dapat menjadi pertimbangan dalam
memecahkan masalah yang serupa di saat mengguncang keutuhan rumah
tangga. Wallahu A’lam Bissawab. (***)
Penulis: Ust. Abu Riyadh Nurcholis, Lc